Oleh : Ahmad Ikhwan Susilo
Semua orang adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah...
Banyaknya calon mahasiswa baru yang gagal dalam SPMB menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi pihak universitas. Pasalnya, mereka bisa membuka jalur khusus di luar jalur reguler (SPMB). Dengan adanya kebijakan pemerintah melalui PP No. 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Sebagai Badan Hukum, yang mengharuskan pihak perguruan tinggi untuk menjalankan otonomi, bisa dilihat mereka akan memanfaatkan peluang seperti ini. Alhasil, perguruan tinggi tersebut akan memasang tarif mahal dengan seenaknya, demi keuntungan pribadi atau perekonomian mandiri lembaga, kepada calon mahasiswa yang lebih memilih jalur ini.
Bagi mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas tentu tak menjadi soal asal anak mereka masuk ke PTN yang diidamkan. Namun, akan lain cerita bagi mereka calon mahasiswa dari keluarga miskin yang tidak mampu. Dan pihak kampus tidak memberi banyak pilihan bagi mereka serta tidak begitu peduli dengan kemampuan ekonomi masyarakat yang terbatas ini. Begitu pun dengan PTS yang dalam hal kualitas tidak kalah dengan PTN. Akan tetap sama masalahnya apabila biaya pendidikan sangatlah mahal. Mereka calon mahasiswa yang miskin tersebut akhirnya hanya bisa bermimpi. Pupus harapan untuk dapat mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kapitalisasi pendidikan telah merubah dari hakekat/tujuan awal pendidikan di negeri ini – seperti yang termaktub dalam mukadimmah konstitusi, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa – ke arah komersialisasi. Akibatnya, banyak generasi muda bangsa ini yang tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. Jangankan untuk mengatasi permasalahan mahalnya biaya pendidikan perguruan tinggi, negara saja belum mampu menjawab persoalan mendasar pendidikan, yaitu menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun, seperti yang disebutkan dalam UUD ’45 pasal 31 ayat 1 dan 2, bahwa; tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya. Alih-alih pemerintah justru memberikan kebijakan yang tak bijak dengan menetapkan PTN sebagai Badan Hukum Pendidikan Milik Negara (BHPMN) yang jelas lebih berorientasi profit.
Saya optimis sebenarnya negara mampu menuntaskan segala masalah pendidikan dan membebaskan segala biaya pendidikan, malahan juga biaya kesehatan. Seperti kata Iwan Fals dalam lirik lagunya, bahwa “tugas negara adalah membebaskan biaya pendidikan dan kesehatan. Mengapa tidak? Karena kita kaya raya, baik alam maupun manusianya. Hanya saja dari dulu kita tidak pandai mengolahnya. Negara harus bisa seperti itu. Kalau tidak? Bubarkan saja!” Tentunya ini bukan sebuah pandangan yang utopis atau abstrak.
Potensi Diri
Gagal dalam SPMB PTN bukan berarti gagal dalam melanjutkan study ke perguruan tinggi. Kita bisa lihat bahwa kualitas PTS itu tidak sepenuhnya berada di bawah PTN. Dia bisa sejajar, atau bahkan lebih baik daripada PTN. Lantas bagaimana jika gagal dua-duanya? Karena kembali lagi pada masalah awal yang mendasar, yaitu biaya kuliah yang begitu mahal. Apakah hal itu berarti kita gagal dalam segala hal dan tak mampu mewujudkan cita-cita yang kita impikan?
Jika kita mendekonstruksi pemahaman tentang kebenaran absolut pendidikan yang selama ini masih melekat dalam pemikiran masyarakat banyak – bahwa yang namanya belajar atau mengenyam pendidikan itu cuma di sekolah – akan kita temui persepsi baru. Bahwa belajar itu bisa di semua tempat dan kita bisa berguru pada semua orang, termasuk kita berguru pada realitas. Keberhasilan dan kesuksesan masa depan seseorang tidak cukup dinilai apakah dia kuliah atau tidak. Bahkan seandainya kita kuliah pun, belum tentu kelak akan menja- min sebuah kehidupan masa depan yang lebih baik.
Hal ini bisa kita lihat dengan jelas, bagaimana di Indonesia sekarang ancaman pengangguran merupakan beban berat yang menggelayut di pundak kaum muda. Tiap tahun sejumlah besar pelajar dan mahasiswa harus terjebak dalam keadaan stagnan, bukannya membaktikan ketrampilan dan bakat mereka untuk kesejahteraan masyarakat, seperti menjadi teknisi, ahli mesin, guru, dan sebagainya. Tidak mengherankan apabila kaum muda ini kemudian tertarik pada tindakan-tindakan yang penuh keputusasaan. (Alan Woods, 2005)
Namun sayang, paradigma seperti ini belum mampu merubah konstruksi berpikir masyarakat tentang pendidikan. Apalagi di tengah persaingan yang go global, dimana hampir semua perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan selalu mencantumkan syarat S-1 atau minimal D-1 sebagai formalitas. Sedikit sekali diantara perusahaan-perusahaan itu yang melihat kapasitas diri seseorang, skill dan potensi yang dimiliki tanpa harus melihat background pendidikannya. Akhirnya, masyarakat pun harus tunduk pada permainan serba formal seperti ini dan masih berkubang dalam pemikiran bahwa dengan kuliah kelak akan memudahkan mencari pekerjaan.
Setiap orang mempunyai potensi dan bakat diri yang terpendam.Pengembangan kreativitas diri dan kerja keras itulah yang menjadi kunci. Seandainya itu bisa tergali dan dimanfaatkan, niscaya keberhasilan dan kesuksesan bisa diraih tanpa harus berpendidikan tinggi.
Pun halnya dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan sebagai referensi dan pengembangan diri agar mampu lebih maju dan bersaing di tengah pesatnya perkembangan jaman, bisa didapat melalui buku-buku atau pendidikan non-formal lainnya. Dengan banyak membaca buku dan sedikit berdiskusi, baik lisan maupun lewat tulisan di media, seperti halnya di prokon aktivis ini, kita akan semakin tahu tentang dunia. Seperti Tantowi Yahya bilang dalam sebuah iklan komersial, kurang membaca dekat dengan kebodohan, dan kebodohan dekat dengan kemiskinan.
Hal itu sekedar beberapa contoh bagaimana mengembangkan potensi kreativitas diri demi kesuksesan dan keberhasilan di masa depan. Sekali lagi, semua itu bisa diraih tanpa harus mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kegagalan dalam SPMB PTN atau bahkan gagal kuliah pun, bukan berarti kita gagal dalam segala hal.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
artikelnya bagus-bagus,,
Post a Comment