19 August 2007

Pengembangan Kreativitas Diri

Oleh : Ahmad Ikhwan Susilo

Semua orang adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah...

Banyaknya calon mahasiswa baru yang gagal dalam SPMB menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi pihak universitas. Pasalnya, mereka bisa membuka jalur khusus di luar jalur reguler (SPMB). Dengan adanya kebijakan pemerintah melalui PP No. 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Sebagai Badan Hukum, yang mengharuskan pihak perguruan tinggi untuk menjalankan otonomi, bisa dilihat mereka akan memanfaatkan peluang seperti ini. Alhasil, perguruan tinggi tersebut akan memasang tarif mahal dengan seenaknya, demi keuntungan pribadi atau perekonomian mandiri lembaga, kepada calon mahasiswa yang lebih memilih jalur ini.

Bagi mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas tentu tak menjadi soal asal anak mereka masuk ke PTN yang diidamkan. Namun, akan lain cerita bagi mereka calon mahasiswa dari keluarga miskin yang tidak mampu. Dan pihak kampus tidak memberi banyak pilihan bagi mereka serta tidak begitu peduli dengan kemampuan ekonomi masyarakat yang terbatas ini. Begitu pun dengan PTS yang dalam hal kualitas tidak kalah dengan PTN. Akan tetap sama masalahnya apabila biaya pendidikan sangatlah mahal. Mereka calon mahasiswa yang miskin tersebut akhirnya hanya bisa bermimpi. Pupus harapan untuk dapat mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kapitalisasi pendidikan telah merubah dari hakekat/tujuan awal pendidikan di negeri ini – seperti yang termaktub dalam mukadimmah konstitusi, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa – ke arah komersialisasi. Akibatnya, banyak generasi muda bangsa ini yang tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. Jangankan untuk mengatasi permasalahan mahalnya biaya pendidikan perguruan tinggi, negara saja belum mampu menjawab persoalan mendasar pendidikan, yaitu menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun, seperti yang disebutkan dalam UUD ’45 pasal 31 ayat 1 dan 2, bahwa; tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya. Alih-alih pemerintah justru memberikan kebijakan yang tak bijak dengan menetapkan PTN sebagai Badan Hukum Pendidikan Milik Negara (BHPMN) yang jelas lebih berorientasi profit.

Saya optimis sebenarnya negara mampu menuntaskan segala masalah pendidikan dan membebaskan segala biaya pendidikan, malahan juga biaya kesehatan. Seperti kata Iwan Fals dalam lirik lagunya, bahwa “tugas negara adalah membebaskan biaya pendidikan dan kesehatan. Mengapa tidak? Karena kita kaya raya, baik alam maupun manusianya. Hanya saja dari dulu kita tidak pandai mengolahnya. Negara harus bisa seperti itu. Kalau tidak? Bubarkan saja!” Tentunya ini bukan sebuah pandangan yang utopis atau abstrak.

Potensi Diri

Gagal dalam SPMB PTN bukan berarti gagal dalam melanjutkan study ke perguruan tinggi. Kita bisa lihat bahwa kualitas PTS itu tidak sepenuhnya berada di bawah PTN. Dia bisa sejajar, atau bahkan lebih baik daripada PTN. Lantas bagaimana jika gagal dua-duanya? Karena kembali lagi pada masalah awal yang mendasar, yaitu biaya kuliah yang begitu mahal. Apakah hal itu berarti kita gagal dalam segala hal dan tak mampu mewujudkan cita-cita yang kita impikan?

Jika kita mendekonstruksi pemahaman tentang kebenaran absolut pendidikan yang selama ini masih melekat dalam pemikiran masyarakat banyak – bahwa yang namanya belajar atau mengenyam pendidikan itu cuma di sekolah – akan kita temui persepsi baru. Bahwa belajar itu bisa di semua tempat dan kita bisa berguru pada semua orang, termasuk kita berguru pada realitas. Keberhasilan dan kesuksesan masa depan seseorang tidak cukup dinilai apakah dia kuliah atau tidak. Bahkan seandainya kita kuliah pun, belum tentu kelak akan menja- min sebuah kehidupan masa depan yang lebih baik.

Hal ini bisa kita lihat dengan jelas, bagaimana di Indonesia sekarang ancaman pengangguran merupakan beban berat yang menggelayut di pundak kaum muda. Tiap tahun sejumlah besar pelajar dan mahasiswa harus terjebak dalam keadaan stagnan, bukannya membaktikan ketrampilan dan bakat mereka untuk kesejahteraan masyarakat, seperti menjadi teknisi, ahli mesin, guru, dan sebagainya. Tidak mengherankan apabila kaum muda ini kemudian tertarik pada tindakan-tindakan yang penuh keputusasaan. (Alan Woods, 2005)

Namun sayang, paradigma seperti ini belum mampu merubah konstruksi berpikir masyarakat tentang pendidikan. Apalagi di tengah persaingan yang go global, dimana hampir semua perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan selalu mencantumkan syarat S-1 atau minimal D-1 sebagai formalitas. Sedikit sekali diantara perusahaan-perusahaan itu yang melihat kapasitas diri seseorang, skill dan potensi yang dimiliki tanpa harus melihat background pendidikannya. Akhirnya, masyarakat pun harus tunduk pada permainan serba formal seperti ini dan masih berkubang dalam pemikiran bahwa dengan kuliah kelak akan memudahkan mencari pekerjaan.

Setiap orang mempunyai potensi dan bakat diri yang terpendam.Pengembangan kreativitas diri dan kerja keras itulah yang menjadi kunci. Seandainya itu bisa tergali dan dimanfaatkan, niscaya keberhasilan dan kesuksesan bisa diraih tanpa harus berpendidikan tinggi.

Pun halnya dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan sebagai referensi dan pengembangan diri agar mampu lebih maju dan bersaing di tengah pesatnya perkembangan jaman, bisa didapat melalui buku-buku atau pendidikan non-formal lainnya. Dengan banyak membaca buku dan sedikit berdiskusi, baik lisan maupun lewat tulisan di media, seperti halnya di prokon aktivis ini, kita akan semakin tahu tentang dunia. Seperti Tantowi Yahya bilang dalam sebuah iklan komersial, kurang membaca dekat dengan kebodohan, dan kebodohan dekat dengan kemiskinan.

Hal itu sekedar beberapa contoh bagaimana mengembangkan potensi kreativitas diri demi kesuksesan dan keberhasilan di masa depan. Sekali lagi, semua itu bisa diraih tanpa harus mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kegagalan dalam SPMB PTN atau bahkan gagal kuliah pun, bukan berarti kita gagal dalam segala hal.

18 June 2007

Berani Berbuat Berani Bertanggungjawab

Oleh : Ahmad Ikhwan Susilo

Tidak ada satu pun yang menginginkan KTD(Kehamilan Tidak Diinginkan), tetapi kenyataannya sampai hari ini masih banyak kasus aborsi yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia((World Health Organization-WHO) pada tahun 2006 menyebutkan bahwa tingkat kasus aborsi—spontan maupun tidak spontan—yang terjadi di Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara, mencapai 2 juta kasus dari jumlah kasus di negara-negara ASEAN yang mencapai 4,2 juta kasus per tahun. Dari estimasi data tersebut disinyalir akan terus bertambah tiap tahunnya jika tidak segera disikapi. Sangat memprihatinkan!.

Kasus aborsi ini banyak di alami oleh ibu rumah tangga dan remaja putri(ABG) yang mengalami “kecelakaan”. Kebanyakan stigma yang beredar di kalangan masyarakat bahwa mereka yang melakukan praktek aborsi ini akibat hubungan di luar nikah. Memang inilah fakta yang sering diekspose oleh media cetak maupun elektronik. Tetapi, pada kenyataannya banyak penyebab lain yang mengakibatkan seseorang melakukan prektek aborsi. Diantaranya; kegagalan alat kontrasepsi, kondisi kesehatan ibu hamil yang lemah, kemiskinan, pemerkosaan dan lain sebagainya.

Di Indonesia, masalah aborsi banyak sekali menuai kontroversi dari pelbagai kalangan. Ada diantaranya beberapa kalangan yang sepakat praktek aborsi ini dilegalkan, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara di Asia, Eropa dan Amerika. Tentunya hal ini dilandaskan pada beberapa pertimbangan dan sesuai dengan indikasi tertentu, semisal; janin menderita cacat yang serius, pemerkosaan di bawah umur dengan pertimbangan masa depan si korban dan sebagainya. Dalam Islam pun ada kalangan yang membenarkan praktek aborsi. Seperti mazhab Hanafi, proses aborsi dibenarkan apabila usia kehamilan dibawah 120 hari dengan alasan yang rasional dan sesuai dengan hukum Islam. Indikasinya, sebagai contoh; apabila kondisi kesehatan ibu hamil sangat buruk serta proses persalinan beresiko tinggi pada kematian sang ibu.

Namun, di sisi lain terjadi polemik dan muncul penolakan dengan tegas dari beberapa kalangan, khususnya kalangan agama terhadap praktek aborsi. Hal ini dipandang sangat bertentangan dengan agama, tidak bermoral, keluar dari norma normatif dan melanggar hukum. Tindakan ini sama halnya dengan praktek pembunuhan atau penghilangan nyawa calon jabang bayi yang belum tentu berdosa.

Di dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 346-349 KUHP dinyatakan bahwa praktek aborsi tidak bisa dibenarkan dan bagi orang yang melakukannya harus di tindak tegas karena bertentangan dengan hukum. Pun halnya dengan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 15 ayat 1 dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu(baca: aborsi). Di luar ketentuan itu termasuk tindakan kriminal(abortus provokatus kriminalis). Namun, sayangnya hal ini belum cukup efektif untuk menekan tingkat aborsi di Indonesia menjadi berkurang.

Justru sebaliknya, praktek aborsi secara ilegal semakin marak dilakukan dan menjadi jalan keluar satu-satunya daripada harus menanggung malu karena KTD. Maka tak ayal tingkat kematian banyak terjadi karena praktek aborsi yang tidak aman yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan mempunyai pengetahuan medis yang minim. Biasanya tingkat kematian tertinggi terjadi bila praktek aborsi ini ditangani oleh dukun tradisional daripada praktisi medis yang profesional.

Kesenjangan Gender

Pun masalah ini tentunya tak luput dari kesenjangan gender, karena di sini jelas sekali bahwa pihak yang paling dirugikan dan harus menanggung beban paling berat adalah perempuan. Mereka tidak hanya menderita secara fisik tetapi juga psikologis. Kondisi ini sama-sama menyakitkan. Secara fisik resiko pendarahan, cacat fisik bahkan sampai menyebabkan kematian bisa saja terjadi. Namun, dampak psikologis juga tak kalah menyakitkan. Bagi mereka yang melakukan aborsi akibat pemerkosaan sudah pasti akan mengalami trauma yang besar, rasa malu, ganggguan mental yang berkepanjangan dan jelas tidak mungkin bisa dilupakan. Sebaliknya bagi mereka yang melakukan aborsi akibat hamil di luar nikah, muncul persepsi negativ di masyarakat, dianggap tidak bermoral, melanggar norma, dan terkucilkan dari masyarakat.

Bagaimana dengan posisi laki-laki di sini? sudah tentu mereka tidak terlalu beresiko tinggi dan tidak terlalu tampak dirugikan. Memang secara fisik kehamilan hanya dialami oleh perempuan, tetapi bukan berarti posisi laki-laki di sini bisa dengan seenaknya lepas dari tanggungjawab. Banyak kasus yang terjadi dimana sosok laki-laki di sini sering lepas dari tanggungjawab dan menyerahkan semua beban pada pihak perempuan. Biasanya mereka hanya bertanggungjawab pada segi ekonominya saja, menanggung biaya aborsi sudah itu lepas tangan. Mereka kebanyakan tidak mau cari repot dengan KTD ini.

Pendidikan Seks

Tak bisa dipungkiri, kebanyakan dari mereka yang mengalami KTD dan aborsi mempunyai pengetahuan seks yang kurang. Kurangnya informasi tentang seksualitas ini menyebabkan angka terjadinya KTD meningkat. Sehingga hal ini juga berdampak pada kasus aborsi yang semakin besar. Ironisnya lagi pada tahun 2006 seorang seksolog Prof Dr dr Wimpie Pangkahila mengatakan, di Indonesia sebanyak enam puluh persen aborsi dilakukan remaja. Umumnya diantara mereka sangat minim memperoleh pendidikan seks yang sehat. Akibatnya, karena dorongan seksual yang tidak bisa dibendung, banyak diantaranya yang akhirnya melakukan hubungan seks bebas dan hamil di luar nikah.

Melihat kondisi di atas kiranya sangat penting memberikan pendidikan seks yang sehat sejak dini. Hal ini sebagai antisipasi terhadap kondisi lingkungan yang menyebabkan seseorang melakukan seks bebas di luar nikah. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan tentang dampak negativ dari sebuah perbuatan yang belum mampu di pertanggungjawabkan baik secara mental maupun sosial. Bagi yang sudah terlanjur melakukannya dan mengalami KTD, selayaknya diberikan dorongan agar mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik kepada pihak laki-laki ataupun perempuan agar tidak terjadi kesenjangan gender. Sehingga nantinya hal ini juga mampu mengurangi praktek aborsi secara ilegal yang beresiko tinggi pada kematian.

01 June 2007

Menabur Benih Masa Depan

Oleh : Ahmad Ikhwan Susilo

Tugas pendidikan adalah memerdekakan…!


Begitulah apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara tentang bagaimana pendidikan itu seharusnya. Di sekolah para pendidik dituntut untuk mampu memerdekakan peserta didik dari pikiran yang penuh prasangka. Memerdekakan mereka dari sikap mental yang mirip seperti budak. Memerdekakan dari sikap pengecut dan tidak memiliki keberanian dalam mengambil keputusan, dan memerdekakan peserta didik dari pola pikir yang asing. Lalu, mengajarkan pada mereka bagaimana menghidupkan nilai-nilai ideal dalam kehidupan sehari-hari.


Pun demikian halnya dengan apa yang ditulis oleh Paulo Freire, bahwa hakekat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia(humanisasi). Pendidikan dijadikan sebagai medium pembebasan dari belenggu ketertindasan dan kebodohan. Dalam prosesnya, belajar bukanlah mengkonsumsi ide, tetapi terus-menerus menciptakan ide. Para pendidik, sebagai fasilitator, harus mampu membangun kesadaran para peserta didik untuk belajar dan melatihnya untuk berpikir kritis.

Maka tak pelak banyak orang berpendapat bahwa maju tidaknya sebuah negara dilihat dari tingkat pendidikannya. Seberapa banyak masyarakatnya yang memperoleh pendidikan sehingga nantinya mampu menghadapi perkembangan jaman yang semakin global.

Di sini sekolah memegang peranan penting dalam menciptakan insan yang berkualitas, bermoral dan bermartabat. Sekolah menjadi tempat pembelajaran para peserta didik dalam melihat realitas dunia. Sehingga keberadaanya mutlak dibutuhkan dan setiap orang juga mutlak untuk mengenyam pendidikan dasar di sekolah. Seperti yang disebutkan dalam UUD ’45 pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya.


Tidak jarang para orang tua rela melakukan apa saja supaya anaknya bisa bersekolah setinggi-tingginya. Dengan harapan kelak mereka menjadi orang yang berhasil dan mampu mengangkat strata sosialnya. Tidak sedikit pula diantara mereka yang beranggapan bahwa sekolah yang baik dan bermutu adalah sekolah yang mahal. Bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas, tak menjadi soal untuk mengeluar kan kocek yang sedikit lebih asal anaknya bisa masuk di sekolah yang bonafit. Bahkan, kalo perlu lewat jalan "belakang".

Lantas, bagaimana dengan mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah? Hampir setiap tahun mereka dipusingkan dengan permasalahan ini, antara menyekolahkan anaknya dan memilihkan sekolah. Di satu sisi mereka menginginkan yang terbaik buat anaknya, tetapi di sisi lain kondisi perekonomian tidak memungkinkannya. Dengan kondisi yang seadanya mereka bahkan rela hidup di bawah kecukupan asal anaknya bisa mengenyam pendidikan di sekolah.

Ironis memang, apalagi sampai hari ini masih banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah akibat permasalahan ekonomi. Walaupun alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD sudah di sepakati, namun sekali lagi dalam prakteknya masih tersendat-sendat. Demikian halnya dengan dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS. Berdasarkan data dari Depdiknas, mulai tahun ajaran 2007/2008 ini pemerintah menaikkan jatah dana BOS, untuk SD yang sebelumnya sebesar Rp 235.000 menjadi Rp 254.000 per siswa per tahun dan untuk SMP yang sebelumnya sebesar Rp 324.500 menjadi Rp 354.000 per siswa per tahun. Dalam penyalurannya pun masih bermasalah sehingga dana yang disalurkan tidak merata.


Walaupun kenyataannya demikian, tetap kita hargai iktikad baik pemerintah yang "sedikit" peduli dengan dunia pendidikan di negeri ini. Meskipun juga belum ada iktikad untuk menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun(SD-SMP) atau yang setara. Tentunya kita percaya, semua itu butuh proses. Namun, dibalik itu semua tetap harus ada kontrol terhadap pemerintah, dan kita jangan hanya tinggal diam—duduk manis—melihat kenyataan ini.

Pendidikan Alternatif


Ada pepatah yang mengatakan, setiap orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Itu artinya, dimanapun sebenarnya seseorang bisa mendapatkan pendidikan. Bisa belajar tentang banyak hal ke siapa saja dan dimana saja, kapan pun waktunya. Masih banyaknya masyarakat yang beranggapan bahwa urusan pendidikan—belajar mengajar—hanya di dapat di sekolahan saja, membuktikan bahwa masyarakat belum memahami esensi dari pendidikan itu sendiri.

Menjamurnya pendidikan alternatif seperti sekolah rumah atau home schooling menjadi antitesa bahwa mengenyam pendidikan tidak harus di sekolah-sekolah formal. Dimana selama ini para murid terkekang hak tumbuhnya dengan wajar, dibatasi oleh aturan-aturan yang ada, dan tidak bisa berkreasi dengan bebas sesuai minat dan kemampu annya. Adanya home schooling ini juga menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang sulit mengakses pendidikan formal karena mahalnya biaya sekolah.


Hingga saat ini, kita bisa melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia ternyata belum memunculkan sikap kritis. Keberhasilan seorang anak didik baru dinilai dari tingkat kognitif. Sama sekali belum mencantumkan ranah afektif dan psikomotorik. Padahal, dua ranah itu sama pentingnya sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Selain itu, keberhasilan pendidikan juga bisa dilihat dari terciptanya pemerataan pendidikan, dimana kualitas anak didik di daerah tertinggal tersubsidi dengan baik sehingga menyamai kualitas pendidikan di daerah yang lebih maju(Arief Rachman, 2007).

Cukup sudah para peserta didik menjadi korban sebuah kurikulum yang "coba-coba". Kini sudah saatnya mereka lebih dikenalkan dengan materi dan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya. Di arahkan bagaimana mereka memecahkan masalah(problem solving), serta menggali potensi mereka sesuai dengan minat dan bakat yang mereka miliki. Selain itu, para pendidik juga dituntut untuk mampu membina unsur spiritual, emosional dan inteletual para anak didiknya. Mereka adalah generasi yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini. Mereka adalah benih-benih masa depan. Apa jadinya jika mereka tidak berpendidikan?.




Catatan bawah : Artikel ini sudah dikirim ke rubrik prokon aktivis Jawa Pos, tetapi ternyata penulis belum beruntung karena ini untuk ketiga kalinya penulis mengirimkan artikel tiap minggu dengan tema yang berbeda dan hasilnya belum dimuat juga. Kasian Deh Lu Bro...