18 June 2007

Berani Berbuat Berani Bertanggungjawab

Oleh : Ahmad Ikhwan Susilo

Tidak ada satu pun yang menginginkan KTD(Kehamilan Tidak Diinginkan), tetapi kenyataannya sampai hari ini masih banyak kasus aborsi yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia((World Health Organization-WHO) pada tahun 2006 menyebutkan bahwa tingkat kasus aborsi—spontan maupun tidak spontan—yang terjadi di Indonesia paling tinggi di Asia Tenggara, mencapai 2 juta kasus dari jumlah kasus di negara-negara ASEAN yang mencapai 4,2 juta kasus per tahun. Dari estimasi data tersebut disinyalir akan terus bertambah tiap tahunnya jika tidak segera disikapi. Sangat memprihatinkan!.

Kasus aborsi ini banyak di alami oleh ibu rumah tangga dan remaja putri(ABG) yang mengalami “kecelakaan”. Kebanyakan stigma yang beredar di kalangan masyarakat bahwa mereka yang melakukan praktek aborsi ini akibat hubungan di luar nikah. Memang inilah fakta yang sering diekspose oleh media cetak maupun elektronik. Tetapi, pada kenyataannya banyak penyebab lain yang mengakibatkan seseorang melakukan prektek aborsi. Diantaranya; kegagalan alat kontrasepsi, kondisi kesehatan ibu hamil yang lemah, kemiskinan, pemerkosaan dan lain sebagainya.

Di Indonesia, masalah aborsi banyak sekali menuai kontroversi dari pelbagai kalangan. Ada diantaranya beberapa kalangan yang sepakat praktek aborsi ini dilegalkan, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara di Asia, Eropa dan Amerika. Tentunya hal ini dilandaskan pada beberapa pertimbangan dan sesuai dengan indikasi tertentu, semisal; janin menderita cacat yang serius, pemerkosaan di bawah umur dengan pertimbangan masa depan si korban dan sebagainya. Dalam Islam pun ada kalangan yang membenarkan praktek aborsi. Seperti mazhab Hanafi, proses aborsi dibenarkan apabila usia kehamilan dibawah 120 hari dengan alasan yang rasional dan sesuai dengan hukum Islam. Indikasinya, sebagai contoh; apabila kondisi kesehatan ibu hamil sangat buruk serta proses persalinan beresiko tinggi pada kematian sang ibu.

Namun, di sisi lain terjadi polemik dan muncul penolakan dengan tegas dari beberapa kalangan, khususnya kalangan agama terhadap praktek aborsi. Hal ini dipandang sangat bertentangan dengan agama, tidak bermoral, keluar dari norma normatif dan melanggar hukum. Tindakan ini sama halnya dengan praktek pembunuhan atau penghilangan nyawa calon jabang bayi yang belum tentu berdosa.

Di dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 346-349 KUHP dinyatakan bahwa praktek aborsi tidak bisa dibenarkan dan bagi orang yang melakukannya harus di tindak tegas karena bertentangan dengan hukum. Pun halnya dengan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 15 ayat 1 dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu(baca: aborsi). Di luar ketentuan itu termasuk tindakan kriminal(abortus provokatus kriminalis). Namun, sayangnya hal ini belum cukup efektif untuk menekan tingkat aborsi di Indonesia menjadi berkurang.

Justru sebaliknya, praktek aborsi secara ilegal semakin marak dilakukan dan menjadi jalan keluar satu-satunya daripada harus menanggung malu karena KTD. Maka tak ayal tingkat kematian banyak terjadi karena praktek aborsi yang tidak aman yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan mempunyai pengetahuan medis yang minim. Biasanya tingkat kematian tertinggi terjadi bila praktek aborsi ini ditangani oleh dukun tradisional daripada praktisi medis yang profesional.

Kesenjangan Gender

Pun masalah ini tentunya tak luput dari kesenjangan gender, karena di sini jelas sekali bahwa pihak yang paling dirugikan dan harus menanggung beban paling berat adalah perempuan. Mereka tidak hanya menderita secara fisik tetapi juga psikologis. Kondisi ini sama-sama menyakitkan. Secara fisik resiko pendarahan, cacat fisik bahkan sampai menyebabkan kematian bisa saja terjadi. Namun, dampak psikologis juga tak kalah menyakitkan. Bagi mereka yang melakukan aborsi akibat pemerkosaan sudah pasti akan mengalami trauma yang besar, rasa malu, ganggguan mental yang berkepanjangan dan jelas tidak mungkin bisa dilupakan. Sebaliknya bagi mereka yang melakukan aborsi akibat hamil di luar nikah, muncul persepsi negativ di masyarakat, dianggap tidak bermoral, melanggar norma, dan terkucilkan dari masyarakat.

Bagaimana dengan posisi laki-laki di sini? sudah tentu mereka tidak terlalu beresiko tinggi dan tidak terlalu tampak dirugikan. Memang secara fisik kehamilan hanya dialami oleh perempuan, tetapi bukan berarti posisi laki-laki di sini bisa dengan seenaknya lepas dari tanggungjawab. Banyak kasus yang terjadi dimana sosok laki-laki di sini sering lepas dari tanggungjawab dan menyerahkan semua beban pada pihak perempuan. Biasanya mereka hanya bertanggungjawab pada segi ekonominya saja, menanggung biaya aborsi sudah itu lepas tangan. Mereka kebanyakan tidak mau cari repot dengan KTD ini.

Pendidikan Seks

Tak bisa dipungkiri, kebanyakan dari mereka yang mengalami KTD dan aborsi mempunyai pengetahuan seks yang kurang. Kurangnya informasi tentang seksualitas ini menyebabkan angka terjadinya KTD meningkat. Sehingga hal ini juga berdampak pada kasus aborsi yang semakin besar. Ironisnya lagi pada tahun 2006 seorang seksolog Prof Dr dr Wimpie Pangkahila mengatakan, di Indonesia sebanyak enam puluh persen aborsi dilakukan remaja. Umumnya diantara mereka sangat minim memperoleh pendidikan seks yang sehat. Akibatnya, karena dorongan seksual yang tidak bisa dibendung, banyak diantaranya yang akhirnya melakukan hubungan seks bebas dan hamil di luar nikah.

Melihat kondisi di atas kiranya sangat penting memberikan pendidikan seks yang sehat sejak dini. Hal ini sebagai antisipasi terhadap kondisi lingkungan yang menyebabkan seseorang melakukan seks bebas di luar nikah. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan tentang dampak negativ dari sebuah perbuatan yang belum mampu di pertanggungjawabkan baik secara mental maupun sosial. Bagi yang sudah terlanjur melakukannya dan mengalami KTD, selayaknya diberikan dorongan agar mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik kepada pihak laki-laki ataupun perempuan agar tidak terjadi kesenjangan gender. Sehingga nantinya hal ini juga mampu mengurangi praktek aborsi secara ilegal yang beresiko tinggi pada kematian.

No comments: