01 June 2007

Menabur Benih Masa Depan

Oleh : Ahmad Ikhwan Susilo

Tugas pendidikan adalah memerdekakan…!


Begitulah apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara tentang bagaimana pendidikan itu seharusnya. Di sekolah para pendidik dituntut untuk mampu memerdekakan peserta didik dari pikiran yang penuh prasangka. Memerdekakan mereka dari sikap mental yang mirip seperti budak. Memerdekakan dari sikap pengecut dan tidak memiliki keberanian dalam mengambil keputusan, dan memerdekakan peserta didik dari pola pikir yang asing. Lalu, mengajarkan pada mereka bagaimana menghidupkan nilai-nilai ideal dalam kehidupan sehari-hari.


Pun demikian halnya dengan apa yang ditulis oleh Paulo Freire, bahwa hakekat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia(humanisasi). Pendidikan dijadikan sebagai medium pembebasan dari belenggu ketertindasan dan kebodohan. Dalam prosesnya, belajar bukanlah mengkonsumsi ide, tetapi terus-menerus menciptakan ide. Para pendidik, sebagai fasilitator, harus mampu membangun kesadaran para peserta didik untuk belajar dan melatihnya untuk berpikir kritis.

Maka tak pelak banyak orang berpendapat bahwa maju tidaknya sebuah negara dilihat dari tingkat pendidikannya. Seberapa banyak masyarakatnya yang memperoleh pendidikan sehingga nantinya mampu menghadapi perkembangan jaman yang semakin global.

Di sini sekolah memegang peranan penting dalam menciptakan insan yang berkualitas, bermoral dan bermartabat. Sekolah menjadi tempat pembelajaran para peserta didik dalam melihat realitas dunia. Sehingga keberadaanya mutlak dibutuhkan dan setiap orang juga mutlak untuk mengenyam pendidikan dasar di sekolah. Seperti yang disebutkan dalam UUD ’45 pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya.


Tidak jarang para orang tua rela melakukan apa saja supaya anaknya bisa bersekolah setinggi-tingginya. Dengan harapan kelak mereka menjadi orang yang berhasil dan mampu mengangkat strata sosialnya. Tidak sedikit pula diantara mereka yang beranggapan bahwa sekolah yang baik dan bermutu adalah sekolah yang mahal. Bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas, tak menjadi soal untuk mengeluar kan kocek yang sedikit lebih asal anaknya bisa masuk di sekolah yang bonafit. Bahkan, kalo perlu lewat jalan "belakang".

Lantas, bagaimana dengan mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah? Hampir setiap tahun mereka dipusingkan dengan permasalahan ini, antara menyekolahkan anaknya dan memilihkan sekolah. Di satu sisi mereka menginginkan yang terbaik buat anaknya, tetapi di sisi lain kondisi perekonomian tidak memungkinkannya. Dengan kondisi yang seadanya mereka bahkan rela hidup di bawah kecukupan asal anaknya bisa mengenyam pendidikan di sekolah.

Ironis memang, apalagi sampai hari ini masih banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah akibat permasalahan ekonomi. Walaupun alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD sudah di sepakati, namun sekali lagi dalam prakteknya masih tersendat-sendat. Demikian halnya dengan dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS. Berdasarkan data dari Depdiknas, mulai tahun ajaran 2007/2008 ini pemerintah menaikkan jatah dana BOS, untuk SD yang sebelumnya sebesar Rp 235.000 menjadi Rp 254.000 per siswa per tahun dan untuk SMP yang sebelumnya sebesar Rp 324.500 menjadi Rp 354.000 per siswa per tahun. Dalam penyalurannya pun masih bermasalah sehingga dana yang disalurkan tidak merata.


Walaupun kenyataannya demikian, tetap kita hargai iktikad baik pemerintah yang "sedikit" peduli dengan dunia pendidikan di negeri ini. Meskipun juga belum ada iktikad untuk menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun(SD-SMP) atau yang setara. Tentunya kita percaya, semua itu butuh proses. Namun, dibalik itu semua tetap harus ada kontrol terhadap pemerintah, dan kita jangan hanya tinggal diam—duduk manis—melihat kenyataan ini.

Pendidikan Alternatif


Ada pepatah yang mengatakan, setiap orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Itu artinya, dimanapun sebenarnya seseorang bisa mendapatkan pendidikan. Bisa belajar tentang banyak hal ke siapa saja dan dimana saja, kapan pun waktunya. Masih banyaknya masyarakat yang beranggapan bahwa urusan pendidikan—belajar mengajar—hanya di dapat di sekolahan saja, membuktikan bahwa masyarakat belum memahami esensi dari pendidikan itu sendiri.

Menjamurnya pendidikan alternatif seperti sekolah rumah atau home schooling menjadi antitesa bahwa mengenyam pendidikan tidak harus di sekolah-sekolah formal. Dimana selama ini para murid terkekang hak tumbuhnya dengan wajar, dibatasi oleh aturan-aturan yang ada, dan tidak bisa berkreasi dengan bebas sesuai minat dan kemampu annya. Adanya home schooling ini juga menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang sulit mengakses pendidikan formal karena mahalnya biaya sekolah.


Hingga saat ini, kita bisa melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia ternyata belum memunculkan sikap kritis. Keberhasilan seorang anak didik baru dinilai dari tingkat kognitif. Sama sekali belum mencantumkan ranah afektif dan psikomotorik. Padahal, dua ranah itu sama pentingnya sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Selain itu, keberhasilan pendidikan juga bisa dilihat dari terciptanya pemerataan pendidikan, dimana kualitas anak didik di daerah tertinggal tersubsidi dengan baik sehingga menyamai kualitas pendidikan di daerah yang lebih maju(Arief Rachman, 2007).

Cukup sudah para peserta didik menjadi korban sebuah kurikulum yang "coba-coba". Kini sudah saatnya mereka lebih dikenalkan dengan materi dan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya. Di arahkan bagaimana mereka memecahkan masalah(problem solving), serta menggali potensi mereka sesuai dengan minat dan bakat yang mereka miliki. Selain itu, para pendidik juga dituntut untuk mampu membina unsur spiritual, emosional dan inteletual para anak didiknya. Mereka adalah generasi yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini. Mereka adalah benih-benih masa depan. Apa jadinya jika mereka tidak berpendidikan?.




Catatan bawah : Artikel ini sudah dikirim ke rubrik prokon aktivis Jawa Pos, tetapi ternyata penulis belum beruntung karena ini untuk ketiga kalinya penulis mengirimkan artikel tiap minggu dengan tema yang berbeda dan hasilnya belum dimuat juga. Kasian Deh Lu Bro...

No comments: