Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum,
segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita
“kehilangan kemerdekaan diri sendiri”
(Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka)
Hampir saban 10 November kita selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan. Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan pernah sekalipun melupakan sejarah.
Sebagaimana laiknya sebuah refleksi, peringatan hari pahlawan ini tak cukup sekedar kita memasang bendera satu tiang penuh dan mengikuti upacara kebesaran yang dipersiapkan, dihadiri para pejabat, didengarkan pidatonya, lantas selesai begitu saja tanpa ada satu nilai. Dan hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang dihayati dan menjadi kosong makna karena peringatan ini cenderung bersifat seremonial belaka.
Lebih dari itu, refleksi ini menjadi satu permenungan kita bersama, sejauh mana kita sebagai angkatan muda(baca: mahasiswa), kaum intelektual terpelajar mampu menjadi bagian dalam proses pembangunan bangsa ini ke depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita perbuat di dalam arus persaingan yang go global ini? karena seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia.
Memang secara legal formal bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat secara hakikat ternyata belum sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang kita alami sekarang tidak sama dengan apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di Surabaya 63 tahun silam dengan menggunakan beberapa pucuk senjata dan bambu runcing. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermuka garang melainkan berwajah lembut. Kita dijajah secara sistem!
Tengoklah berapa juta massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh birokrasi negeri ini. Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat. Sebuah kenyataan yang ditulis puluhan tahun lampau namun masih dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...
Hal inilah yang secara kongkrit harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara budaya.
Pengalaman-pengalaman besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting untuk menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar.
Pahlawan-Pahlawan Baru
Sebuah keniscayaan memang apabila setiap jaman akan melahirkan anak jamannya masing-masing. Disinilah peran generasi muda tak pernah putus dari sejarah bangsa ini. Jika kita menilik ke belakang, dulu kaum terpelajar yang memperoleh kesempatan untuk menikmati pendidikan mempunyai satu cita-cita besar bagaimana bangsa ini bisa merdeka dari belenggu penindasan kolonial. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar tentang perubahan, tidak hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada satu tindakan riil bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap massa rakyat yang tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara mengorganisasikan diri.
Tidak hanya itu, mereka juga membuat terbitan-terbitan cetak dalam proses transformasi nilai kepada massa rakyat. Perlawanan terhadap Belanda memasuki babak baru. Tak sekedar dengan rencong dan keris, tetapi juga dengan pena dan kertas (baca: ilmu pengetahuan). Itulah sebabnya Ben Anderson, lewat esai panjang Immagined Communities, menulis: Selain runtuhnya kekuasaan universal (gereja Katolik-Roma) dan kerajaan-kerajaan dinastik, berkembangnya penerbitan dan percetakan yang memungkinkan tulisan para pemimpin pergerakan makin banyak dibaca khalayak adalah elemen terpenting dari kelahiran nasionalisme.
Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan refleksikan.
Namun, kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?
Saat negara nasibnya terseok seperti sekarang dimana rakyat hidupnya diperas, perubahan hanya jadi menu diskusi, saat itulah maka gerakan progresif kaum intelektual terpelajar menjadi satu kebutuhan mendesak. Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok yang mencintai pengetahuan, tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan gagasan-gagasan tentang perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan konkrit untuk perubahan sosial mutlak dibutuhkan.
Saya masih ingat jelas ungkapan satir yang pernah dituliskan Romo Mangunwijaya: Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka. Semoga ini bisa menjadi permenungan kita bersama – sebagai ‘intelektual terpelajar’ – dalam merefleksikan peringatan hari Pahlawan dan mengisi kemerdekaan ini dengan penuh makna.
“Yang tertulis akan tetap mengabadi dan yang terucap akan berlalu seperti angin...”
Dua tahun yang lalu, di sebuah kedai buku di Jogja, saya bertemu dan mulai berkenal akrab dengan seorang aktivis 98 yang kini masih konsisten di garis perjuangan. Di usianya yang belum bisa dikatakan tua dan tak pantas lagi disebut muda itu, ia masih saja berteriak lawan. Bahkan ia tak lelah untuk terus-menerus memprovokasi mereka, para generasi muda, untuk selalu menempuh garis perjuangan. Mempunyai keberpihakan terhadap massa rakyat yang tertindas. Karena sangat jelas bahwa revolusi merupakan alternatif pilihan yang tepat. Dengan kekuatan massa rakyat yang kuat, terdidik, terpimpin, dan terorganisisir. Hanya saja bentuk perjuangan yang dilakukan seorang yang saya kenal ini lebih banyak melalui pena. Ia tak sering lagi turun ke jalan. Ia hanya menulis. Menulis untuk mengagitasi. Menulis sembari berpropaganda.
Suatu waktu ia bertanya kepada saya, “Kapan nie kawan-kawan buat buku? Atau setidaknya kalau ada yang punya tulisan, kumpulkan, dan coba kirim ke penerbit. Masak gak ada yang suka menulis?” sontak saya merasa tertampar dengan pertanyaan tersebut. Dalam benak saya berkata, “Niat seh ada. Tapi, lha ya sebatas niat, belum bisa terealisasi. Jangankan menulis untuk sebuah buku, menulis sebuah artikel untuk buletin internal saja hanya segelintir kawan yang rutin melakukannya.”
Menulis memang bukan perkara yang sepele. Ia bukan suatu hal yang mudah bukan pula suatu hal yang sulit. Sebegitu pentingkah budaya tulis ini kita budayakan di dalam organisasi kita? Seberapa banyak pula di antara kita yang sudah memulai dan membiasakan budaya tulis ini? Ataukah jangan-jangan kita masih melanggengkan budaya lisan dari jaman feodal? Kalau pun itu yang terjadi, maka kelak yang ada hanyalah pendongeng dan pendengar cerita.
Kalau kita menilik sebentar ke jaman kolonial, munculnya organisasi pergerakan nasional berangkat dari sebuah perjuangan melalui media massa. Adalah RM Tirto Adi Soerjo inilah sosok “Sang Pemula dan Pembaharu” dalam pergerakan di Indonesia yang berani menelanjangi kebijakan pemerintahan Belanda yang begitu menyengsarakan rakyat melalui media terbitannya: Medan Prijaji. Pada waktu itu organisasi belum menjadi alat perjuangan karena kesadaran massa rakyat akan perlunya sebuah organisasi sangat minim sekali. Hal ikhwal yang bisa dilakukan dalam melakukan perubahan adalah melalui tulisan. Media massa menjadi alat untuk menumbuhkan kesadaran massa.
Seandainya para pemikir revolusioner dunia yang mempunyai harapan akan perubahan manusia dari sebuah ketertindasan tak pernah menuliskan hasil pemikirannya, niscaya penghisapan manusia atas manusia akan terus bercokol. Darimana kita akan tahu ide-ide revolusioner Marx atau pemikiran gemilang Tan Malaka jika kita tidak pernah membaca karya besar mereka tentang perubahan. Mereka tahu bahwa warisan wacana yang progresif revolusioner tidak hanya bisa dilakukan dengan berorasi dan berkata-kata. Satu hal yang bisa melanggengkan wacana atau ide-ide atas perubahan itu tadi; yaitu dengan menuliskannya. Ialah yang akan terus-menerus berteriak lantang dan menggugah kesadaran individu yang membacanya.
Dalam sebuah diskusi di warung kopi bersama seorang kawan anggota, saya pernah menanyakan, “Kenapa ya kawan-kawan atau kitalah – minimal – jarang sekali menulis sebuah artikel yang kemudian dikirim ke media sebagai counter culture wacana media yang didominasi wacana-wacana elitis? Padahal kita sering berdiskusi, kita selalu melakukan sitnas, kita juga pernah mengadakan pelatihan jurnalistik, tetapi kenapa masih saja kita belum mampu?” Kemudian dia menjawab, “Sebenarnya hal ini sudah dilakukan oleh kawan-kawan, walaupun tidak semuanya, karena semua kembali ke individu masing-masing anggota.” Pernah juga pertanyaan serupa saya tanyakan pada seorang kawan pengurus yang cukup peduli dengan wacana-wacana budaya dan sastra, dia menjawab, “Memang beginilah adanya. Budaya ini masih lemah sekali ditingkatan kita. Adanya kendala yang beragam atau mungkin terlalu sibuk dengan kerja-kerja organisasi. Sepertinya memang harus kita rintis”
Dari pertanyaan yang saya lontarkan tadi, tidak ada satu pun jawaban yang cukup melegakan. Sampai saat ini pertanyaan saya tadi masih terus bergeming di dalam otak. Saya cukup merasa resah. Benarkah budaya tulis ini sebegitu parahnya sehingga belum mampu membudaya di tingkatan kita? Bagaimana kita bisa lentur melakukan proses agitasi dan propaganda melalui media tulis jika diksi dan pemakaian gaya bahasa(elocutio) sebagai rangsangan simpati massa jarang kita latih? Tentu saja hal ini berdampak pada kemiskinan perbendaharaan kata, kekeringan makna, tidak adanya persuasif dan sugesti dalam propaganda tulisan yang kita buat.
Di tengah kehebatan kapitalisme hari ini yang mampu menciptakan kontrol baru dengan teknologi informasi yang diciptakannya, sebenarnya menjadi peluang bagi kita untuk membuat media-media baru sebagai alternativ untuk menyebarkan gagasan-gagasan revolusioner. Di internet,semisal, menjamurnya blog-blog/situs pribadi bisa dijadikan media untuk mengasah kemampuan menulis kita. Media inilah yang harus kita jadikan budaya baru dalam proses transformasi nilai.
“Memang seharusnya seperti itu, bro,” celetuk seorang kawan anggota ketika chat,” Tapi sayangnya, banyak yang lebih suka “nampang” ria dengan pose-pose genit dan sok dramatis di FS daripada nge-blog. Parahnya lagi, Men...boro-boro untuk chat, email, buat FS atau blog, nge-Net aja banyak yang gaptek, kok. Gimana mau melawan kapitalisme, hah?!” lontaran satire itu membuat saya tertawa kecut. Saya tak mampu berkomentar. Saya cuma bisa membalas, “Ha..ha..ha...”
Secangkir kopi kental pahit dan empat batang rokok telah habis mengantar saya menyelesaikan tulisan ini. Saya tafakur sembari mencoba merefleksikan kembali dinamika yang saya alami selama 5 tahun di organisasi bersama kawan-kawan. Apa saja yang telah saya peroleh dan saya berikan untuk organisasi? Catatan-catatan apa yang pernah saya torehkan di organisasi? Di akhir tafakur, saya mengambil kesimpulan kecil, bahwa memang budaya tulis ini harus kita rintis. Bagaimana kita akan mampu bertutur tentang sejarah organisasi kita kepada benih-benih baru jika kita tidak menuliskannya? Karena kelak suatu waktu mulut kita pasti bungkam dan tak bisa berkata-kata lagi. Jangan sampai kita hanya menjadi seorang pendongeng dan pendengar cerita saja. Bilamana itu terjadi, bagaimana gurgaba di hari depan bisa kita raih?
MenurutKartono (2002, h.243) Skizofrenia adalah kondisi psikologis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi dan kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian, serta regresi aku yang parah. Menurut Strausal et al (dalam iman setiadi, 2006, h. 3) Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini di tandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitf dan persepsi. Sedangkan gejala negatifnya antara lain seperti avolition ( menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar, serta terganggunya relasi personal. Tampak bahwa gejala-gejala skizofrenia menimbulkan hendaya berat dalam kemampuan individu berfikir dan memecahkan masalah, kehidupan afek dan menggangu relasi personal. Kesemuanya mengakibatkan pasienskizofrenia mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya dan nyaris terputus relasinya dengan orang lain.
Menurut Kartono (1986, h. 259-260) Skizofrenia dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
Skizofrenia Hebefrenik.
Artinya mental atau jiwanya menjadi tumpul. Kesadarannya masih jernih, akan tetapi kesadaran akunya sangat terganggu.
Ciri-cirinya:
a.Orang yang mengalami derealisasi dan depersonalisasi berat.
b.Dihinggapi macam-macam ilusi dan delusi, sebab fikirannya kacau,melantur.
c.Banyak tersenyum-senyum dengan muka yang selalu perat perot tanpa ada perangsang sedikit pun.
Skizofrenia katatonik.
Ciri-cirinya sebagai berikut:
a.Urat-uratnya menjadi kaku dan mengalami chorea flexibility yaitu badan jadi kaku seperti malam atau was.
b.Ada pola tingkah laku yang stereothypes, aneh-aneh atau gerak-gerak otomatis dan tingkatah laku yang aneh-aneh yang tidak terkendalikan oleh kemauan.
c.Ada gejala-gejala stupor.
d.Kadang-kadang disertai catatonic excitement.
e.Mengalami regresi total.
Skizofrenia paranoid.
a.Penderita diliputi macam-macam delusi dan halusinasi yang terus berganti-ganti coraknya dan tidak teratur serta kacau balau.
b.Pasin tampak lebih waras dan tidak sangat ganjil dan aneh jika dibandingkan dengan penderita skizofrenia jenis lainnya.
c.Akan tetapi pada umumnya dia bersikap sangat bermusuhan terhadap siapapun juga.
d.Merasa dirinya penting, besar grandieus.
e.Sering sangat fanatik religious secara berlebihan.
f.Kadang-kadang bersifat hipokondris.
B.Sebab-sebab Skizofrenia.
Ada beberapa penyebab skizofrenia antara lain:
1. Lebih dari separuh dari jumlah penderita skizofrenia mempunyai keluarga psikosisatau sakit mental.
2. Tipe kepribadian yang schizothyme (dengan jiwa yang cenderung menjadi skizofren) dan bentuk jasmaniahasthenis (tidak berdaya/bertenaga) mempunyai kecenderungan kuat menjadi skizofren.
3. Sebab-sebab organis: ada perubahan atau kerusakkan pada sistem syaraf sentral. Juga terdapat gangguan-gangguan pada sistem kelenjar-kelenjar adrenalin dan piluitari (kelenjar dibawah otak). Kadang kala kelenjar thyroid dan kelenjar adrenal mengalami atrofi berat. Dapat juga disebabkan oleh proses klimakterik dan gangguan menstruasi. Semua ganguan tadi menyebabkan degenerasi pada energi fisik dan energi mentalnya.
4. Sebab-sebab psikologis: ada kebiasaan-kebiasaan infantile yang buruk dan salah, sehingga pasien hampir selalu melakukan mal adjustment (salah-suai) terhadap lingkungan. Ada konflik diantara super ego dan id (freud). Integrasi kepribadiannya sangat miskin, dan ada kompleks-inferior yang berat.
C. Gejala Skizofrenia
Gejala penderita skizofrenia antara lain:
a.Delusi
b.Halusinasi
c.Cara bicara/berfikir yang tidak teratur
d.Perilaku negatif, misalkan: kasar, kurang termotifasi, muram, perhatian menurun.
Beberapa study tentang masalah-masalah yang ditimbulkan pasien skizofrenia pada keluarganya yang paling sering muncul menurut Murray adalah:
a.Ketidak mampuan untuk merawat diri.
b.Ketidak mampuan menangani uang.
c.Social with drawal.
d.Kebiasa-kebiasaan pribadi yang aneh.
e.Ancaman bunuh diri.
f.Gangguan pada kehidupan keluarga, misal: pekerjaan, sekolah, jadwal sosial.
g.Ketakutan atas keselamatan, baik pasien maupun anggota keluarga.
h.Blame and shame.
D. Penanganan bagi penderita skizofrenia
Prognosa dan penyembuhan bagi penderita skizofrenia pada umumnya sedikit sekali kemungkinan bisa sembuh terutama jika keadaannya sudah parah. Yang penting adalah usaha prefentif menurut Kartini Kartono(2002, h. 247-248) berupa:
a.menghindarkan dari frustrasi-frustrasi dan kesulitan-kesulitan psikis lainnya.
b.Menciptakan kontak-kontak sosial yang baik.
c.Membiasakan pasien memiliki sikap hidup positif, dan mau melihat hari depan dengan rasa berani.
d.Beranikan ia mengambil sikap tegas dalam menghadapi realitas dengan rasa positif dan usakanlah agar dia bisa menjadi extrovert.
Dalam situs www.sivalintar.com dijelaskan tentang beberapa cara penanganan skizofrenia, yaitu:
a.Sikap menerima adalah langkah awal penyembuhan
b.Penderita perlu tahu penyakit apa yang diderita dan bagaimana melawannya.
c.Dukungan keluarga akan sangat berpengaruh.
d.Perawatan yang dilakukan oleh para ahli bertujuan mengurangi gejala skizofrenik dan kemungkinan gejala psyhcotik.
e.Penderita skizofrenia biasanya menjalani pemakaian obat-obatan selama waktu tertentu, bahkan mungkin harus seumur hidup.
Cara-cara Terapi/Perawatan Skizofrenia
Selain cara dengan perawatan di rumah sakit (umum atau jiwa) dan rawat jalan, ada cara alternatif, yaitu dirawat hanya pada siang atau malam hari saja di rumah sakit, sebagian hari lainnya pasien berada di rumah bersama dengan keluarga atau di sekolah atau tempat kerja bersama teman-temannya.
Selain itu ada program terapi residensial, yaitu tempat semacam asrama bagi pasien skizofrenia yang sudah relatif tenang atau mencapai keadaan remisi (tetapi masih memerlukan rehabilitasi, latihan keterampilan lebih lanjut) dapat hidup dalam suasana lingkungan sepeerti keluarga (bersama-sama pasien lainnya) dalam mana ia dapat mempraktekkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya di tengah-tengah lingkungan yang mendukung sehingga ia kemudian juga terampil menjalani kehidupan ini di luar rumah sakit, di tengah-tengah masyarakat luas seperti anggota masyarakat pada umumnya.
Semuanya memerlukan semacam dukungan social (social support) dari komuniti atau lingkungan masyarakatnya. Secara tuntas, untuk terapi holistic diperlukan perhatian baik untuk fisiknya (makanan, istirahat, medikasi, latihan fisik), mental-emosionalnya (psikoterapi, konseling psikologis), dan bimbingan social (cara bergaul, latihan keterampilan social) serta lingkungan keluarga dan social yang mendukung). Disamping terapi okupasional (kegiatan untuk mengisi waktu) diperlukan juga terapi /rehabilitasi vokasional (untuk melatih keterampilan kerja tertentu yang dapat digunakan pasien untuk mencari nafkah).
Semua ini membutuhkan jalinan kerja sama seluruh lapisan masyarakat/komuniti, dan tidak mungkin dilakukan oleh satu kelompok komuniti saja, banyak pihak harus terlibat dan saling bekerja sama dengan satu tujuan yaitu membawa pasien kepada keadaan bebas penyakit dan terampil menjalani kehidupan secara mandiri.
E. Penderitaan keluarga yang memiliki anggota skizofrenia
Skizofrenia adalah penyakit yang sangat merusak, tidak hanya bagi orang yang terkena tetapi pada keluarga juga. Barangkali tidak ada penyakit lain termasuk kangker yang lebih menimbulkan kepedihan yang mendalam bagi keluarga seperti skizofrenia (Torrey, 1988)
Atmosfer dalam keluarga adalah seperti menunggu dan terus menunggu akan meledaknya sebuah bom. Pasien terus menerus meragukan diri dan penuh pertanyaan. Keluarga hidup dengan ketakutan yang menetap bahwa gejala-gejala akan muncul lagi.
Banyak keluarga belum mengerti benar apa itu skizofrenia, ketidak mengertian itumelahirkan jalam pintas. Rata-rata mereka memasukkan kerabatnya ke rumah sakit jiwa, padahal penyakit ini bisa dikendalikan dengan kemauan diri yang keras dan dukungan keluarga penderitanya bisa hidup normal. Seperti yang dialami keluarga Suharjo, salah satu orang tua yang anaknya menderita skizofrenia,” saat anak saya divonis menderita skizofrenia saya kaget sekali. Rasanya saya ingin marah karena anak saya dianggap gila sebab dalam kehidupan sehari-hari dia terlihat normal”.
Tetapi akhirnya suharjo melihat sendiri keanehan sikap anaknya, dia merasa terus dimata-matai oleh tetangga, merasa mendengar suara-suara dan sebagainya. ”saya tidak mau anak saya disebut gila”. Tapi kini anaknya memang sedang menjalani perawatan, dia sunggh luar biasa, dia tidak pernah berhenti berusaha setelah tahu dirinya menderita skizofrenia, katanya.
F. Yang harus dilakukan keluarga dalam upaya penyesuaian diri dengan kehadiran skizofrenia dalam sistem mereka dan cara mengatasinya.
Informasi/psikoedukasi.
Informasi-informasi yang akurat tentang skizofrenia, gejala-gejalanya, kemungkinan perjalanan penyakitnya, berbagai bantua medis dan psikologis yang dapat meringankan gejala skizofrenia merupakan sebagian info vital yang sangat dibutuhkan keluarga. Info yang tepat akan menghilangkan saling menyalahkan satu sama lain, memberikan pegangan untuk dapat berharap secara realistis danmembantu keluarga mengarahkan sumber daya yang mereka miliki pada usaha-usaha yang produktif. Pemberian info yang tepat dapat dilakukan dengan suatu program psikoedukasi untuk keluarga.
Sikap yang tepat adalah SAFE.
Menurut Torrey (1988) keluarga perlu memiliki sikap yang tepat tentang skizofrenia, disingkatnya sikap-sikap yang tepat itu dengan SAEF ( Sense of humor, Accepting the illnes, Familliy balance, Expectations which are realistic).
Support group
Bilamana keluarga menghadapi skizofrenia dalam keluarga mereka seorang diri, beban itu akan terasa sangat berat, namun bila keluarga-keluarga yang sama-sama memiliki anggota keluarga skizofren bergabung bersama maka beban mereka akan terasa lebih ringan. Mereka dapat saling menguatkan, berbagi informasi yang mutahir, bahkan mungkin menggalang dana bersama bagi keluarga yang kurang mampu. Upaya peredaan ketegangan emosional secara kelompok juga akan lebih efektif dan lebih murah.
Family therapy(Object relations family therapy)
Family therapy dapat menjadi bagian dari rangkaian upaya membantu keluarga agar sebagai suatu sistem meningkat kohesivitasnya dan lebih mampu melakukan penyesuaian diri.
Keluarga harus membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri sipenderita. Mereka harus sabar dan menerima kenyataan.
Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuh yang sangat berarti bagi penderita skizofrenia.
Menerima kenyataan, menurut Suryantha adalah kunci pertama proses penyembuhan atau pengendalian skizofrenia. Keluarga harus tetap bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap ksar. Akan tetapi terlalu memanjakan juga tidak baik.
Pasca perawatan bisanya penderita akan dikembalikan pada lingkungan keluarga. Penerimaan kembali oleh keluarga sangat besar artinya, dalam berbicara tidak boleh emosional agar tidak memancing kembali emosi penderita.
Yang penting usaha-usaha prevenif berupa hindari frusrtasi dan kesulitan psikis lainnya. Menciptakan kontak-kontak sosial yang sehat dan baik. Membiasakan pasien memiliki sikap hidup positif dan mau melihat hari depan dengan rasa kebranian.
Pada skizofrenia fase aktif penderita mudah terpukul oleh problem yang sederhana sekalipun. Kurangi pemberian tanggung jawab agar tidak membebani penderita dan dapat mengurangi stres jangka pendek.
Penderita mungkin menggunakan kata-kata yang tidak masuk akal, agar lebih paham cobalah berkomunikasi dengan cara lain dan mengajak melakukan aktivitas bersama-sama. Seperti mendengarkan musik, melukis, nonton tv, atau menunjukkan perhatian tanpa bercakap-cakap.
Keluarga menanggung beban dan tanggung jawab merawat anggota keluarga yang sakit terutama mengatasi perilaku kacau tanpa informasi, ketrampilan dan dukungan yang memadai. Akhir-akhir ini perhatian perhatian para ahli beralih kepada pengaruh keluarga terhadap timbulnya kekambuhan. Sikap keluarga terhadap penderita dapat ditentukan dengan apa yang disebut EE(Emotional Expresion) yang terdiri atas kritikan atau komentar negatif, emotional over involvment, permusuhan terhadap penderita, ketidak puasan dan kehangatan. Bila keluarga EEnya tinggi maka kekambuhan akan tinggi, namun sebaliknya bila EEnya rendah maka kekambuhanpun akan rendah.
Tritmen Untuk Skizofrenia
Pasien skizofrenia memerlukan tritmen yang komprehensif, artinya memberikan tritmen medis untuk menghilangkan gejala, terapi (psikologis) untuk membantu mereka beradaptasi dengan konsekuensi/akibat dari gangguan tsb, dan layanan sosial untuk membantu mereka dapat kembali hidup di masyarakat dan menjamin mereka dapat memperoleh akses untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Berikut beberapa tritmen yang biasanya diberikan kepada pasien skizofrenia.
1.Tritmen biologis: terapi obat Pemberian obat2an anti psikotik, minyak ikan.
2.Tritmen sosial dan psikologis –
3.intervensi perilaku, kognitif, dan sosial (melatih ketrampilan berbicara, ketrampilan mengelola diri sendiri, ketrampilan mengelola gejala, terapi kelompok, melatih ketrampilan kerja, dll)
4.terapi keluarga (melatih keluarga bagaimana menghadapi perilaku anggotanya yang menderita skizofrenia agar tidak kambuh)
5.program tritmen komunitas asertif (menyediakan layanan komprehensif bagi pasien skizofrenia dg dokter ahli, pekerja sosial, & psikolog yang dapat mereka akses setiaptapi di Indonesia masihรจsaat-terutama bagi yang tidak memiliki keluarga)terlalu mewah ya? Tritmen lintas budaya Penyembuhan tradisional (dengan doa-doa, upacara adat, jamu, dll) sesuai budaya setempat.
KriteriaSembuh
Istilah remisi (sembuh bebas gejala) menunjukkan pasien, sebagai hasil terapi medikasi terbebas dari gejala-gejala skizofrenia, tetapi tidak melihat apakah pasien itu dapat berfungsi atau tidak. Istilah recovery (sembuh tuntas) biasanya mencakup disamping terbebas dari gejala-gejala halusinasi, delusi dan lain-lain, pasien juga dapat bekerja atau belajar sesuai harapan keadaan diri pasien masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai kondisi sembuh dan dapat berfungsi, seorang pasien skizofrenia memerlukan medikasi, konsultasi psikologis, bimbingan social, latihan keterampilan kerja, dan kesempatan yang sama untuk semuanya seperti anggota masyarakat lainnya.
Kini perlu disadari bahwa peran keluarga sangatlah penting dalam usaha penyembuhan penderita skizofrenia. Keluarga penderita adalah sumber amat penting untuk memudahkan perawatan psikososial, untuk itu jangan jauhi penderita, berilah perhatian dan kasih sayang agar penderita tidak merasa dikucilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, S , 2006. Skizofrenia “ Memahami Dinamika Pasien”. Bandung: PT. Refika Aditama