05 January 2009

DEKONSTRUKSI DERRIDA DAN PENGARUHNYA PADA KAJIAN BUDAYA

Oleh Satrio Arismunandar


Riwayat Singkat

Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.


Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian.


Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19. Ia kemudian pindah dari Aljazair ke Perancis, dan segera sesudahnya ia mulai berperan utama di jurnal kiri Tel Quel.


Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.


Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat.


Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian budaya, di mana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man.


Dekonstruksi sering menjadi subyek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor honoris causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, yang sering mengeritiknya.


Bagaimanapun, dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekonstruksi memang telah menantang filsafat tradisional lewat berbagai cara penting. Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah différance dan dekonstruksi.


Memposisikan Derrida


Tidak mudah memahami pemikiran Derrida. Untuk memudahkan mempelajarinya, kita coba menempatkannya dalam konteks pergeseran pemikiran pada era 1950-an sampai 1970-an, dari modernitas ke posmodernitas, dan dari strukturalisme ke post-strukturalisme. De Saussure, Chomsky, Jacobson dan Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis-modernis. Sedangkan Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan Baudrillard, “bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis-posmodernis.


Pemikiran kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga. Pertama, yang merevisi pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola pemikiran pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya. Kedua, pemikiran yang merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen terhadap modernism, dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Mereka di antaranya: Habermas, Whitehead, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur.


Ketiga, pemikiran yang memandang bahwa sisi gelap dari modernitas bukanlah sekadar efek samping dari pemikiran Pencerahan, melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalamnya.[1] Para pemikir dari kalangan ini terkait erat dengan dunia sastra dan linguistik. Mereka ingin melampaui bahasa, yang secara tradisional dipandang sebagai cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas.


Caranya, dengan melakukan dekonstruksi gambaran-dunia, sehingga cenderung anti-gambaran-dunia sama sekali. Gambaran-dunia yang ingin dibongkar itu, misalnya, adalah diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia-nyata, dan sebagainya. Para pemikir dari kelompok ini adalah Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.


Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran


Untuk memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.


Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole.

Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/sensible, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.


Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.


Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.[2]


Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna.


Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis –sebagai sekadar representasi dari ujaran-- hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.


Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.


Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.


Differance dan Difference


Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.


Sebagai contoh, dalam keseluruhan bab Course in General Linguistics karya Ferdinand de Saussure, Saussure mencoba membatasi ilmu linguistik hanya pada fonetik (phonetic) dan kata yang bisa didengar (audible word). Dalam penyelidikan ini, Saussure sampai mengatakan bahwa "bahasa dan tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda: yang kedua eksis semata-mata hanya untuk representasi dari yang pertama". Bahasa, tegas Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari penulisan, dan keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran dimungkinkan.


Derrida dengan berapi-api menolak hirarki ini. Derrida sebaliknya berargumentasi bahwa semua yang bisa diklaim terhadap tulisan –seperti, bahwa itu sekadar merupakan turunan (derivatif) dan hanya merujuk ke tanda-tanda lain— sebenarnya juga sama berlaku terhadap ujaran.


Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri.


Inilah pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu.


Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).


Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance.


Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda.” Kita tak bisa membedakan differance dan difference hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini Derrida.[3]


Jika kata terucap (ujaran) membutuhkan tulisan untuk bisa berfungsi secara memadai, seperti ambiguitas dalam kata differance dan difference tersebut, maka ujaran itu sendiri selalu berjarak dari setiap apapun yang diklaim sebagai kejelasan kesadaran (clarity of consciousness). Pernyataan Derrida ini secara tegas telah membantah habis argumen De Saussure, yang berusaha memisahkan ujaran dan tulisan, dan melecehkan tulisan sebagai sesuatu yang nyaris tidak dibutuhkan oleh ujaran.


Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan-perbedaan, dan penjarakan (spacing), yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain. Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya.


Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.


Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.


Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi


Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.


Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.


Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.


Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.


Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”


Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.


Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.


Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis.


Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.


Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.


Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.


Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.


Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.


Pengaruh Dekonstruksi terhadap Kajian Budaya


Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.


Secara sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan sebagainya.


Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.


Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.


Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other).[4]

Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.


Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya. ***


Depok, 12 Desember 2008


(Paper untuk tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen DR. Akhyar Yusuf Lubis, di FIB-UI)


REFERENSI:


1. Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

2. Bennington, Geoffrey. 2000. Interrupting Derrida. London/New York: Routledge.

3. Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.

4. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

5. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.

6. http://www.iep.utm.edu/d/derrida.htm (didownload pada 6 Desember 2008).

7. Kathryn Woodward. 1999. Identity and Difference. London: Sage Publication.

8. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

9. Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

10. Norris, Christopher. 2008. Membongkat Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

11. Storey, John. 2006. Cultural Theory and Popular Culture: an Introduction. Fourth Edition. Athens, Georgia: The University of Georgia Press.

12. Williams, James. 2005. Understanding Poststructuralism. Chesham: Acumen.


Footnotes:


[1] Pandangan ini ditegaskan oleh Lyotard, Foucault, dan Baudrillard. Mereka mendukung gagasan Horkheimer dan Adorno, yang menyatakan bahwa logika dominasi dan penindasan sesungguhnya termuat dalam rasionalitas instrumental, yang logikanya bukan saja mendorong industrialisasi, tetapi juga kamp konsentrasi Auschwitz dan Belsen.

[2] Kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability) adalah salah satu usaha Derrida yang terpenting, untuk mengacaukan oposisi biner atau dualisme, atau lebih akurat, untuk mengungkapkan bagaimana dualisme-dualisme itu selalu bermasalah. Sebuah undecidable, dan banyak sejenisnya dalam dekonstruksi, tidak bisa berpadu dengan polaritas ataupun dikotomi (seperti, dikotomi hadir/absen). Figur hantu, misalnya, tampaknya tidak-hadir tetapi juga tidak-absen, atau alternatifnya, hantu itu hadir sekaligus absen pada saat yang sama.

[3] Saya banyak berutang pada Inyiak Ridwan Muzir, tentang penjelasan differance, difference, dan deferred, yang diutarakannya secara gamblang dalam pengantar buku terjemahan karya Norris.

[4] Lubis, Akhyar Yusuf. 2008. Materi kuliah Filsafat Ilmu tentang “postmodernisme Lyotard” di Program Pascasarjana FIB-UI.

13 December 2008

Hari Pahlawan Bukan Sekedar Refleksi

Oleh: Ahmad Ikhwan Susilo


Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum,

segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita

“kehilangan kemerdekaan diri sendiri”

(Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka)


Hampir saban 10 November kita selalu mengibarkan bendera satu tiang penuh. Upacara penghormatan pun dilakukan untuk memperingati hari Pahlawan. Seremonial tahunan ini menjadi satu refleksi bagi kita semua untuk mengenang jasa-jasa besar para pahlawan Indonesia yang dengan ikhlas mengorbankan segenap jiwa dan raga yang dimiliki sampai tetes darah penghabisan. Semua itu demi satu tujuan: Kemerdekaan! Merdeka dari penghisapan, merdeka dari penjajahan, dan merdeka dari penindasan kolonial. Soekarno pernah berkata bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan jasa para pahlawannya. Maka dari itu, jangan pernah sekalipun melupakan sejarah.

Sebagaimana laiknya sebuah refleksi, peringatan hari pahlawan ini tak cukup sekedar kita memasang bendera satu tiang penuh dan mengikuti upacara kebesaran yang dipersiapkan, dihadiri para pejabat, didengarkan pidatonya, lantas selesai begitu saja tanpa ada satu nilai. Dan hal ini dari tahun ke tahun terasa semakin kurang dihayati dan menjadi kosong makna karena peringatan ini cenderung bersifat seremonial belaka.

Lebih dari itu, refleksi ini menjadi satu permenungan kita bersama, sejauh mana kita sebagai angkatan muda(baca: mahasiswa), kaum intelektual terpelajar mampu menjadi bagian dalam proses pembangunan bangsa ini ke depan? Hal signifikan apa saja yang telah kita perbuat di dalam arus persaingan yang go global ini? karena seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie bahwa kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia.

Memang secara legal formal bangsa ini telah merdeka, tetapi bila kita lihat secara hakikat ternyata belum sepenuhnya kita merdeka. Penjajahan yang kita alami sekarang tidak sama dengan apa yang dialami oleh arek-arek Suroboyo ketika melawan Inggris di Surabaya 63 tahun silam dengan menggunakan beberapa pucuk senjata dan bambu runcing. Bentuk penjajahan yang kita alami saat ini tidak bermuka garang melainkan berwajah lembut. Kita dijajah secara sistem!

Tengoklah berapa juta massa rakyat Indonesia yang terbelenggu dalam kemiskinan, mereka yang tidak mampu sekolah, pengangguran yang menumpuk, petani yang dirampas tanahnya, buruh dengan gaji rendah, belum lagi kanker korupsi yang masih menjamur di tubuh birokrasi negeri ini. Tan Malaka membuat sebuah illustrasi yang menyedihkan tentang keadaan rakyat. Sebuah kenyataan yang ditulis puluhan tahun lampau namun masih dekat dengan kenyataan yang sekarang kita alami: Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan ‘pagi makan, petang tidak’. Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan barang perdagangan, kini semuanya dipusatkan dalam tangan beberapa sindikat...demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa(malahan kerapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal...

Hal inilah yang secara kongkrit harus kita jawab bersama. Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan massa rakyat yang demokratis secara politik, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, dan partisipatif secara budaya.

Pengalaman-pengalaman besar harus dijemput bukan hanya melalui analisa tapi juga karya-karya penting untuk menggugah kesadaran yang sudah lama terlelap. Di dunia pemikiran kita bukan sekedar membutuhkan gagasan-gagasan baru melainkan juga ‘alat baca’ yang berpihak atas massa rakyat yang tertindas. Intelektual adalah bagian dari arus massa tertindas dan sebaiknya mengerti, memahami, dan menyelami kehidupan mereka. Hal ini tak akan bisa dimengerti jika mengetahui kehidupan hanya sebatas kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop, rapat, seminar, diskusi atau penelitian ‘pesanan’. Kegiatan itu hanya akan meningkatkan pendapatan bukan pemahaman atas kenyataan sosial. Membuang keyakinan lama mungkin jadi syarat utama menuju pada tugas serta mandat seorang intelektual terpelajar.

Pahlawan-Pahlawan Baru

Sebuah keniscayaan memang apabila setiap jaman akan melahirkan anak jamannya masing-masing. Disinilah peran generasi muda tak pernah putus dari sejarah bangsa ini. Jika kita menilik ke belakang, dulu kaum terpelajar yang memperoleh kesempatan untuk menikmati pendidikan mempunyai satu cita-cita besar bagaimana bangsa ini bisa merdeka dari belenggu penindasan kolonial. Mereka tidak hanya mempunyai gagasan besar tentang perubahan, tidak hanya berhenti pada satu forum diskusi, tetapi ada satu tindakan riil bagaimana melakukan proses transformasi nilai terhadap massa rakyat yang tertindas. Jalan itupun mereka dapatkan dengan cara mengorganisasikan diri.

Tidak hanya itu, mereka juga membuat terbitan-terbitan cetak dalam proses transformasi nilai kepada massa rakyat. Perlawanan terhadap Belanda memasuki babak baru. Tak sekedar dengan rencong dan keris, tetapi juga dengan pena dan kertas (baca: ilmu pengetahuan). Itulah sebabnya Ben Anderson, lewat esai panjang Immagined Communities, menulis: Selain runtuhnya kekuasaan universal (gereja Katolik-Roma) dan kerajaan-kerajaan dinastik, berkembangnya penerbitan dan percetakan yang memungkinkan tulisan para pemimpin pergerakan makin banyak dibaca khalayak adalah elemen terpenting dari kelahiran nasionalisme.

Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah hari Pahlawan harus kita peringati dan refleksikan.

Namun, kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban?

Saat negara nasibnya terseok seperti sekarang dimana rakyat hidupnya diperas, perubahan hanya jadi menu diskusi, saat itulah maka gerakan progresif kaum intelektual terpelajar menjadi satu kebutuhan mendesak. Seorang terpelajar bukan semata-mata sosok yang mencintai pengetahuan, tapi bagaimana dapat dan mampu memberikan gagasan-gagasan tentang perubahan. Karena itulah, solusi-solusi baru dan tindakan konkrit untuk perubahan sosial mutlak dibutuhkan.

Saya masih ingat jelas ungkapan satir yang pernah dituliskan Romo Mangunwijaya: Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka. Semoga ini bisa menjadi permenungan kita bersama – sebagai ‘intelektual terpelajar’ – dalam merefleksikan peringatan hari Pahlawan dan mengisi kemerdekaan ini dengan penuh makna.